Zonajatim.net – Kedalaman Selat Bali kembali menjadi sorotan setelah peristiwa tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya pada Rabu malam, 2 Juli 2025.
Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 23.35 WIB tersebut menimbulkan duka mendalam bagi banyak keluarga dan menjadi pengingat bahwa jalur laut di Indonesia menyimpan tantangan yang tak bisa dianggap remeh.
Kapal yang berlayar dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali tersebut membawa total 65 orang, terdiri atas 53 penumpang dan 12 kru kapal, serta 22 unit kendaraan.
Usai musibah terjadi, tim SAR melakukan evakuasi besar-besaran. Hingga 9 Juli 2025, tercatat 42 orang berhasil ditemukan, terdiri dari 30 orang selamat dan 12 meninggal dunia. Sisanya, 23 orang masih belum ditemukan dan terus dalam pencarian intensif.
Menurut laporan resmi dari tim penyelamat, KRI Pulau Fanildo berhasil mendeteksi objek yang diduga kuat sebagai bangkai KMP Tunu Pratama Jaya di dasar laut Selat Bali, dengan estimasi kedalaman sekitar 49 meter dari permukaan air.
Penemuan ini menjadi titik terang dalam upaya pencarian, namun sekaligus mempertegas tantangan yang dihadapi dalam mengevakuasi korban dan kendaraan di dasar laut.
Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: seperti apa sebenarnya kondisi kedalaman Selat Bali, dan sejauh mana karakteristik laut ini menjadi faktor yang memperumit proses pencarian?
Karakteristik dan Kedalaman Selat Bali
Kedalaman Selat Bali memiliki variasi yang signifikan di setiap titiknya, menjadikannya sebagai salah satu wilayah pelayaran yang tidak bisa dipandang sederhana. Selat ini menjadi penghubung utama antara Jawa dan Bali, dengan lalu lintas padat berupa kapal penumpang, kapal barang, hingga kapal pariwisata dan nelayan.
Pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk menjadi dua titik utama aktivitas penyeberangan, di mana kapal diberangkatkan bergantian setiap 15 menit dari empat dermaga penumpang dan dua dermaga barang di masing-masing pelabuhan.
Secara umum, kedalaman Selat Bali berada di kisaran 50 hingga 60 meter. Namun, pada beberapa titik strategis, terutama di wilayah tengah antara Ketapang dan Gilimanuk, kedalaman dapat mencapai 85 hingga 140 meter.
Data kedalaman Selat Bali juga diungkap studi Setyohadi (2009) dalam Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada yang dikutip Banjarnahor (2020) di Jurnal Geodesi Undip.
Riset itu menyebutkan secara geografis perairan Selat Bali termasuk kedalam tipe perairan semi tertutup. Kedalaman Selat Bali umumnya dangkal di bagian utara dengan kedalaman ± 50 meter, sedangkan pada bagian selatan mencapai lebih dari 200 meter.
Di dekat daratan seperti area Pelabuhan Ketapang dan Gilimanuk, kedalamannya hanya berkisar 10 hingga 40 meter. Inilah alasan mengapa proses pencarian korban tenggelam bisa begitu sulit, karena kontur dasar laut yang tidak rata.
Data dari Hanifa dkk dalam penelitian tahun 2020 yang dipublikasikan di jurnal Coastal and Shelf Science menyebutkan bahwa panjang Selat Bali mencapai 80 kilometer, menghubungkan Samudra Hindia di bagian selatan dengan Laut Jawa di utara.
Bentuk selat ini menyerupai corong, dengan lebar sekitar 60 kilometer dan kedalaman rata-rata 365 meter di bagian selatan, lalu menyempit ke utara hingga hanya selebar 2 kilometer dengan kedalaman sekitar 50 meter.
Pola kedalaman yang tidak seragam ini menjadi tantangan tersendiri dalam pelayaran dan keselamatan transportasi laut.
Palung Laut Bali-Flores: Wilayah Dalam Dekat Selat Bali
Meskipun kedalaman Selat Bali di jalur utama penyeberangan tergolong menengah, tidak jauh dari wilayah ini terdapat zona laut yang jauh lebih dalam, yakni Palung Laut Bali-Flores.
Palung ini tidak terletak langsung di selat, melainkan berada di perairan utara Pulau Bali. Kedalamannya berkisar antara 700 meter dan dapat mencapai hingga 1.300 meter di bagian yang lebih timur.
Secara geologis, Palung Laut Bali-Flores merupakan zona lereng benua yang membatasi Paparan Sunda (wilayah dangkal di barat) dengan Paparan Sahul (wilayah dalam di timur). Palung ini juga dikenal sebagai salah satu jalur sesar aktif, memanjang dari utara Pulau Flores hingga utara Pulau Bali.
Aktivitas tektonik yang tinggi di kawasan ini turut memengaruhi dinamika oseanografi, menjadikannya sebagai habitat ikan laut dalam serta wilayah potensial dalam pengembangan energi dari tekanan dan arus laut dalam.
Meski tidak secara langsung menjadi lokasi karamnya KMP Tunu Pratama Jaya, eksistensi palung dalam ini turut menjadi gambaran bahwa perairan di sekitar Bali menyimpan banyak kompleksitas yang harus diperhitungkan dalam aspek keselamatan.












