Zonajatim.net-Para pecinta makanan khas Jawa Timur tentu sudah banyak menjelajahi berbagai warung rawon di Surabaya, Malang dan daerah lainnya. Kuliner yang juga populer dijuluki sup hitam karena memiliki ciri khas warna hitam.
Popularitas sup berbahan dasar daging ini sudah mendunia. Menikmati rawon tak lengkap rasanya bila tanpa sambal dan kerupuk udang serta taburan tauge di atasnya. Dihidangkan dengan lauk tempe, telur asin sampai babat sapi untuk melengkapi makanan ini.
Cita rasa unik dari makanan khas Jawa Timur ini didapat dari cara pengolahannya. Daging direbus bersama bumbu tumisan, warna hitam berasal dari penggunaan biji keluak. Perpaduan komponen yang menghasilkan rasa gurih dan lezat.
Kuliner tradisional ini dapat dikonsumsi siapapun baik itu anak-anak, orang dewasa maupun lansia. Salah satu makanan khas Jawa Timur ini sudah ada sejak lebih dari seribu tahun lalu berdasarkan berbagai literature sejarah.
Pusat Studi Makanan Tradisional UGM pada 1997 meneliti sejarah rawon. Sup ini dituliskan dengan nama Rarawwan atau sup rawon dalam kitab Kakawin Bhomokaya karya Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kadiri pada tahun 1042–1222.
Rawon merupakan hidangan favorit kaum bangsawan dan favorit para raja. Itu dibuktikan dalam Serat Wulangan Olah-olah Warna-warni. Karya tulis itu dikoleksi Istana Mangkunegaran Surakarta yang dicetak pada 1926 yang memuat resep membuat hidangan rawon.
Erni Sofia dan Befrika S Murdianti dalam artikelnya berjudul Rawon: The Black Soup Delicacy From East Java yang diterbitkan di Journal of Ethnic Foods menuliskan, cita rasa gurih rawon dihasilkan dari proses memasang aging dan rempah dalam waktu lama sehingga menghasilkan tekstur empuk dan kaldu yang kental.
Selama proses memasak itu, terjadi perpindahan air dan lemak dari daging ke air rebusan. Rasa rempah mampu menutupi aroma daging yang kurang sedap dan penambahan garam memberikan rasa dan membantu mengikat air dan lemak sehingga masa simpan kaldu lebih lama.
Dia menuliskan, rawon merupakan salah satu menu masakan familiar bagi masyarakat di Jawa Timur sejak abad ke-19. Berlimpahnya ternak sapi pedaging di provinsi ini jadi salah satu penyebab utamanya. Pasokan daging sapi lebih banyak di Jawa Timur dibanding Jawa Tengah.
Sebagian besar penduduk Jawa Timur banyak merupakan petani. Biasanya, para petani juga memelihara hewan ternak untuk dimanfaatkan membajak sawah maupun diperdagangankan. Provinsi ini termasuk penghasil ternak terbesar di Indonesia pada masa itu.
Berlimpahnya ternak di Jawa Timur itu membuat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan Schoolter Opleiding van de Veeartsenijkunst atau Sekolah Mantri Hewan di Surabaya pada tahun 1860. Lalu didirikan Veeartsenijkundige Dienst (Departemen Pelayanan Kedokteran Hewan) pada tahun 1928.
Makanan ini tidak hanya popular dan digemari oleh masyarakat di ujung timur pulau Jawa ini saja, tapi menjadi salah satu ikon kuliner tradisional Indonesia. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2012 memilih rawon sebagai satu dari 30 ikon kuliner tradisional Indonesia.
Sejak itu pula rawon hampir selalu muncul sebagai salah satu set menu yang dipromosikan secara global. Kerap disajikan untuk kepentingan jamuan kenegaraan atau acara khusus secara nasional dan internasional.
Kenikmatan rawon juga diakui oleh dunia internasional. Taste Atlas menetapkan rawon di peringkat pertama sebagai sup berbahan daging terenak di dunia pada tahun 2020, 2022 dan 2023 versi Taste Atlas mengalahkan ramen dari Jepang sampai tom kha gai dari Thailad.
Nasi Rawon dapat disantap kapanpun, seperti untuk sarapan, sebagai menu makan siang maupun dinikmati hangat untuk makan malam. Mencari rawon pun sangat mudah, sebab tersedia mulai dari warung makan kaki lima sampai restoran.
Bahkan rawon juga sering jadi hidangan dan disajikan untuk berbagai acara seperti pernikahan, pesta khitanan dan berbagai hajatan masyarakat lainnya. Di Jawa Timur ada banyak varian rawon dan beberapa di antaranya telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.






