ZonaJatim.net – Imbauan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar pemerintah daerah (pemda) menghidupkan kembali hotel dan restoran yang terancam bangkrut tersebut lewat penyelenggaraan kegiatan dan rapat di hotel, menuai tanggapan kritis dari pelaku industri.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyambut baik niat dan imbauan mendagri soal rapat di hotel tersebut. Namun PHRI menyoroti keterbatasan anggaran sebagai kendala utama.
Ketua PHRI Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menilai bahwa dampak dari imbauan tersebut akan terbatas karena pada kenyataannya sebagian besar anggaran pemda sudah direalokasi sejak awal tahun.
“Kalau soal penambahan okupansi secara signifikan, saya rasa tidak akan terjadi. Karena anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk kegiatan di hotel sudah dipindahkan ke pos lain,” ujar Dodi dalam keterangannya, Selasa (10/6/2025), dikutip dari laman resmi PHRI dan TribunJabar.id.
Pernyataan tersebut merespons arahan Tito dalam Musrenbangprov NTB di Hotel Lombok Raya, Mataram, Rabu (4/6).
Saat itu, Tito meminta agar pemda kembali menggeliatkan kegiatan di hotel sebagai bentuk dukungan konkret untuk menyelamatkan sektor pariwisata dan jasa kuliner.
“Caranya, buatlah kegiatan di sana. Supaya mereka bisa hidup,” ujar Tito, seperti dikutip dari Lombok Post. Ia bahkan menyebut bahwa perjalanan dinas telah diperbolehkan lagi.
Namun secara nasional, kondisi okupansi hotel menunjukkan penurunan drastis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan PHRI, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang di Indonesia pada kuartal I-2025 hanya menyentuh angka 43,05%, menjadi yang terendah sejak masa pandemi. Maret menjadi titik nadir, dengan TPK nasional hanya 33,56%.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, tren penurunan ini sangat terasa. Pada Maret 2024, TPK masih tercatat 43,41%, namun tahun ini merosot hampir 10 poin persentase.
Beberapa provinsi bahkan mencatatkan keterisian kamar yang sangat rendah, seperti Aceh (13,3%) dan Papua Pegunungan (13,7%). Sementara di Sulawesi Barat, angka ini hanya 20,86% pada Februari 2025.
Pulau Jawa pun tak luput dari tekanan. Di Yogyakarta, TPK pada Maret 2025 hanya 23,15%, padahal di bulan yang sama tahun lalu masih mencapai 37,8%. Jawa Barat pun mengalami hal serupa, dari 40,56% (Maret 2024) menjadi 28,77% (Maret 2025).
Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo, mengakui bahwa izin menggelar rapat di hotel merupakan angin segar. Namun, menurutnya, wacana ini akan percuma tanpa pelonggaran Inpres Nomor 125 tentang efisiensi belanja pemerintah.
“Ya kami menyambut baik izin itu. Tapi kami harapkan (kebijakan) ini bukan omon-omon (omong kosong). Pemerintah daerah bisa melaksanakannya karena sudah tidak ada larangan lagi, tapi kalau anggarannya dari pusat tidak dibuka, ya tetap tidak bisa,” kata Deddy, Senin (9/6/2025), dikutip dari laman PHRI.
Ia menambahkan bahwa pelaku usaha tidak menuntut bantuan besar, tetapi cukup diberi ruang untuk kembali hidup. “Kami tidak minta banyak. Cukup beri ruang untuk kami hidup kembali. Kalau Pemda dibolehkan tapi tak punya anggaran, ya sama saja bohong,” tegasnya.
Penurunan okupansi hotel disebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah penurunan belanja pemerintah yang pada kuartal I-2025 tumbuh negatif -1,38% dibandingkan pertumbuhan 20,44% di kuartal I-2024. Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun akibat deflasi yang terjadi di awal 2025, masing-masing sebesar 0,76% pada Januari dan 0,38% pada Februari.
Ditambah lagi, arus pemudik Lebaran juga menurun dari 162,2 juta orang pada 2024 menjadi 154,6 juta orang tahun ini. Wisatawan mancanegara pun berkurang, dari 1,04 juta orang pada Maret 2024 menjadi hanya 841 ribu pada Maret 2025.
Meskipun Mendagri telah memberi lampu hijau bagi pemda untuk kembali menghidupkan sektor perhotelan, PHRI mengingatkan bahwa tanpa dukungan anggaran yang nyata, wacana tersebut tak akan berdampak besar.
Kini, harapan pelaku usaha bertumpu pada komitmen pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan anggaran dengan kondisi lapangan. Jika tidak, imbauan untuk “membuat kegiatan di hotel” hanya akan menjadi janji kosong di tengah sekaratnya industri perhotelan.












